Apa yang Membedakan Peraturan Daerah dari Peraturan Pusat?

Desentralisasi pemerintahan di Indonesia memberi ruang besar bagi daerah untuk mengatur urusannya sendiri melalui Peraturan Daerah (Perda). Di sisi lain, pemerintah pusat tetap memiliki kewenangan strategis dalam mengatur kebijakan nasional lewat Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Presiden (Perpres).
Namun, di balik semangat otonomi ini, muncul tantangan serius inkonsistensi antara regulasi pusat dan daerah. Banyak Perda yang dibatalkan karena bertentangan dengan peraturan di atasnya. Fenomena ini menunjukkan masih lemahnya pemahaman tentang perbedaan struktur, prosedur, dan prinsip hukum antara peraturan pusat dan daerah.
Perbedaan itu bukan hanya pada tingkatan hierarki hukum, tetapi juga menyangkut falsafah pembentukannya. Jika regulasi pusat berorientasi pada kebijakan makro dan keseragaman nasional, maka regulasi daerah fokus pada kebutuhan lokal dan adaptasi konteks sosial.
Artikel ini akan membedah perbedaan mendasar antara perancangan Perda dan peraturan pusat, tantangan harmonisasi antar tingkat pemerintahan, serta solusi praktis agar tidak terjadi disharmoni regulasi yang merugikan pembangunan daerah.
Perbedaan Struktur dan Prosedur Penyusunan
Meskipun sama-sama merupakan produk hukum, Perda dan peraturan pusat memiliki perbedaan signifikan dalam struktur kelembagaan, tahapan, dan mekanisme penyusunannya. Pemahaman terhadap perbedaan ini menjadi kunci agar produk hukum daerah tidak bertentangan dengan kebijakan nasional.
1. Perbedaan dari Segi Kewenangan dan Subjek Pembentuk
- Peraturan pusat dibentuk oleh lembaga negara tingkat nasional, seperti DPR bersama Presiden (untuk UU), atau Presiden sendiri (untuk PP dan Perpres).
- Peraturan daerah disusun oleh Pemerintah Daerah bersama DPRD sebagai representasi masyarakat lokal.
Kewenangan pembentukan Perda diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan bahwa Perda hanya boleh mengatur urusan yang telah diserahkan kepada daerah. Artinya, perancang daerah tidak bisa mengatur bidang yang menjadi kewenangan eksklusif pusat, seperti kebijakan fiskal makro, pertahanan, dan hubungan luar negeri.
2. Perbedaan dari Segi Prosedur dan Tahapan
Prosedur penyusunan peraturan di tingkat pusat diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (beserta perubahannya). Sementara itu, perancangan Perda mengikuti prosedur serupa, tetapi dengan adaptasi di tingkat daerah.
Tahapan utama dalam penyusunan Perda meliputi:
- Perencanaan penetapan dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda).
- Penyusunan Naskah Akademik kajian empiris dan yuridis yang menjadi dasar rancangan.
- Penyusunan Rancangan Perda oleh biro hukum atau perangkat daerah terkait.
- Pembahasan Bersama DPRD untuk harmonisasi substansi dan redaksi pasal.
- Evaluasi dan Fasilitasi oleh Gubernur atau Kemendagri memastikan tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya.
- Penetapan dan Pengundangan setelah disetujui bersama dan ditandatangani kepala daerah.
Sementara itu, peraturan di tingkat pusat memiliki mekanisme pembahasan yang lebih panjang, melibatkan lintas kementerian, Dewan Perwakilan Rakyat, serta unit harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
3. Perbedaan dari Segi Hierarki dan Ruang Lingkup Pengaturan
Dalam sistem hukum nasional, Perda berada di bawah peraturan pusat. Berdasarkan hierarki yang diatur dalam Pasal 7 UU 12/2011, urutannya adalah:
- UUD 1945
- Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah Provinsi
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Dengan posisi tersebut, Perda tidak boleh memuat norma yang bertentangan dengan peraturan di atasnya. Fungsi Perda lebih bersifat implementatif terhadap kebijakan nasional di level lokal.
Tantangan Harmonisasi dan Supervisi Pemerintah Pusat
Penyusunan Perda seringkali dihadapkan pada dilema antara kebutuhan lokal dan kepatuhan terhadap norma hukum nasional. Tantangan ini muncul dari beberapa aspek utama berikut.
1. Perbedaan Penafsiran terhadap Kewenangan
Banyak pemerintah daerah menganggap otonomi berarti kebebasan penuh untuk mengatur. Padahal, otonomi bersifat terbatas dan terkendali. Hal ini sering menimbulkan Perda yang melampaui kewenangan, seperti menetapkan pungutan baru atau mengatur tata ruang tanpa koordinasi dengan kementerian teknis.
Kasus seperti ini kerap memicu pembatalan oleh Kementerian Dalam Negeri, yang menilai substansi Perda tidak sesuai dengan kebijakan nasional.
2. Inkonsistensi Substansi dan Bahasa Hukum
Peraturan daerah yang disusun tanpa memperhatikan teknik legislative drafting sering menghasilkan rumusan pasal yang multitafsir atau bertentangan dengan terminologi hukum nasional. Sebagai contoh, penggunaan istilah “izin” dan “retribusi” yang tidak konsisten dapat menimbulkan perbedaan tafsir dalam implementasi di lapangan.
3. Kurangnya Kapasitas Perancang di Daerah
Masih banyak ASN di biro hukum daerah yang belum menguasai teknik harmonisasi dan analisis hukum komparatif. Akibatnya, proses evaluasi oleh pemerintah pusat sering mengungkap banyak kelemahan mendasar. Bahkan, beberapa daerah masih menyalin draf Perda dari daerah lain tanpa penyesuaian konteks sosial dan hukum, yang akhirnya berujung pada penolakan.
4. Tantangan Supervisi dan Evaluasi
Pemerintah pusat memiliki kewenangan fasilitasi dan pembatalan Perda melalui Kementerian Dalam Negeri. Namun, supervisi ini sering dianggap sebagai intervensi, terutama jika pemerintah daerah merasa kebijakan lokalnya dihambat.
Keseimbangan antara otonomi dan kontrol pusat masih menjadi isu sensitif, apalagi dalam konteks daerah yang memiliki kekhususan, seperti Aceh, Papua, dan Yogyakarta.
5. Kompleksitas Harmonisasi Antar Sektor
Satu Perda sering kali menyentuh berbagai sektor: ekonomi, lingkungan, sosial, dan administrasi. Tanpa koordinasi lintas dinas dan kementerian, regulasi yang dihasilkan bisa saling tumpang tindih.
Sebagai contoh, Perda tentang pengelolaan tambang harus selaras dengan kebijakan energi nasional dan peraturan lingkungan hidup. Tanpa harmonisasi, implementasi bisa macet di lapangan.
Solusi Praktis Mengatasi Inkonsistensi Regulasi
Tantangan dalam harmonisasi pusat dan daerah bukan berarti tanpa solusi. Sejumlah langkah strategis dapat diterapkan untuk memastikan regulasi daerah tetap kontekstual, tetapi sejalan dengan kebijakan nasional.
1. Penguatan Kapasitas Perancang Daerah
Pemerintah daerah perlu memperkuat kompetensi ASN melalui pelatihan legislative drafting dan harmonisasi hukum. ASN di biro hukum harus memahami prinsip dasar pembentukan peraturan, analisis dampak regulasi (Regulatory Impact Assessment), dan teknik penyusunan naskah akademik.
Pelatihan ini tidak hanya meningkatkan keterampilan teknis, tetapi juga membangun mindset hukum yang selaras dengan struktur nasional.
2. Penggunaan Database dan Sistem Informasi Hukum Terpadu
Integrasi sistem seperti Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional (JDIHN) dapat membantu perancang daerah mengakses regulasi pusat secara cepat dan akurat. Dengan begitu, setiap rancangan Perda bisa langsung disandingkan dengan peraturan di atasnya.
Kementerian Hukum dan HAM juga mendorong penerapan Legal Tech untuk mendukung proses harmonisasi digital, agar revisi bisa dilakukan lebih efisien.
3. Pembentukan Tim Harmonisasi Bersama Pusat-Daerah
Solusi kolaboratif antara Kementerian Hukum dan HAM, Kemendagri, dan Pemerintah Daerah perlu diperkuat. Tim ini berfungsi sebagai jembatan komunikasi untuk memastikan draf Perda selaras dengan kebijakan nasional tanpa menghilangkan nilai lokal.
Model kerja sama seperti ini telah berhasil diterapkan di Provinsi Jawa Barat dan DIY, di mana tim harmonisasi lintas lembaga menghasilkan Perda yang efisien dan adaptif.
4. Penerapan Analisis Dampak Regulasi (RIA)
RIA membantu memastikan bahwa setiap Perda tidak hanya sesuai secara hukum, tetapi juga efektif secara sosial dan ekonomi. Dengan RIA, perancang dapat mengukur dampak penerapan Perda sebelum disahkan, sekaligus mencegah potensi konflik dengan peraturan pusat.
OECD bahkan menilai bahwa penerapan RIA secara konsisten di tingkat daerah mampu meningkatkan kualitas kebijakan publik dan memperkuat good governance.
5. Konsultasi Publik dan Akademik yang Lebih Inklusif
Proses konsultasi publik sebaiknya tidak hanya formalitas. Melibatkan akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat sejak awal dapat membantu menemukan titik keseimbangan antara kebutuhan lokal dan kebijakan nasional.
Sebagai contoh, beberapa kabupaten di Jawa Tengah melibatkan universitas lokal untuk memverifikasi naskah akademik sebelum diajukan ke DPRD. Hasilnya, harmonisasi meningkat dan evaluasi dari pusat menjadi lebih cepat.
6. Optimalisasi Fasilitasi dan Supervisi oleh Kemendagri
Kemendagri perlu memperkuat pendekatan pembinaan daripada pembatalan. Alih-alih hanya menilai hasil akhir, supervisi dapat dilakukan sejak tahap penyusunan. Pendampingan teknis oleh pejabat pusat juga akan membantu daerah memahami batas kewenangannya secara lebih konstruktif.
Kesimpulan & Ajakan Kolaborasi Drafting Daerah-Pusat
Hubungan antara regulasi pusat dan daerah adalah cerminan keseimbangan antara keseragaman dan keberagaman. Perda berfungsi untuk mengatur hal-hal spesifik lokal, sementara peraturan pusat memberikan koridor hukum dan arah kebijakan nasional.
Agar tidak terjadi tumpang tindih, sinergi dan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah harus diperkuat. Kolaborasi drafting bersama, pelatihan harmonisasi, dan penerapan sistem hukum digital menjadi kunci lahirnya regulasi yang efektif, legal, dan berdaya guna.
Meningkatkan kualitas perancangan bukan hanya tanggung jawab biro hukum, tetapi juga bagian dari upaya kolektif mewujudkan tata kelola pemerintahan yang adaptif dan profesional.
Kuasai teknik penyusunan naskah akademik, harmonisasi regulasi, hingga redaksi pasal yang efektif agar setiap Perda yang Anda hasilkan benar-benar berkualitas dan implementatif. Klik tautan ini untuk melihat jadwal terbaru dan penawaran spesial.
Referensi
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
- Kementerian Dalam Negeri (2024). Evaluasi Pembatalan Peraturan Daerah Tahun 2023.
- OECD (2021). Regulatory Policy Outlook: Indonesia Chapter.
- Kementerian Hukum dan HAM RI (2023). Pedoman Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan.
- Bappenas (2022). Laporan Reformasi Regulasi dan Tata Kelola Pemerintahan Daerah.