Perancang Perda Profesional Selalu Gunakan 5 Teknik Redaksional Ini

Bahasa hukum adalah jantung dari setiap peraturan. Tanpa rumusan bahasa yang tepat, pesan hukum bisa kabur dan berpotensi menimbulkan multitafsir di lapangan. Dalam konteks Peraturan Daerah (Perda), redaksi bukan hanya soal tata bahasa, tetapi juga menyangkut kejelasan norma, kekuatan hukum, dan efektivitas penerapan.
Sayangnya, masih banyak penyusun Perda baik dari kalangan biro hukum, DPRD, maupun tenaga perancang yang menyepelekan aspek redaksional. Padahal, kesalahan kecil dalam kalimat hukum bisa berdampak besar terhadap implementasi kebijakan publik.
Menurut Kementerian Hukum dan HAM (2021), lebih dari 30% Perda yang dibatalkan melalui mekanisme evaluasi pemerintah pusat terjadi karena kelemahan dalam rumusan norma dan bahasa hukum. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas redaksional bukan sekadar faktor estetika, melainkan penentu sah tidaknya suatu peraturan.
Artikel ini akan mengulas lima teknik redaksional penting yang sering diabaikan dalam perancangan Perda, dilengkapi contoh kesalahan umum dan rekomendasi standar yang sesuai dengan pedoman nasional peraturan perundang-undangan.
Teknik 1: Menyusun Struktur Kalimat yang Tegas dan Logis
Struktur kalimat dalam peraturan harus mencerminkan logika hukum dan urutan berpikir yang runtut. Setiap kalimat perlu memuat satu gagasan hukum utama agar tidak membingungkan pembaca atau penegak hukum.
Peraturan yang baik umumnya memiliki susunan kalimat dengan unsur:
- Subjek hukum (siapa yang diatur),
- Perbuatan hukum (apa yang harus dilakukan),
- Objek hukum (apa yang diatur), dan
- Kondisi atau batasan tertentu (kapan, di mana, dalam hal apa).
Contoh redaksi yang lemah:
“Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha wajib memperhatikan ketentuan yang berlaku dan menjaga lingkungan.”
Kalimat tersebut multitafsir karena tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “memperhatikan ketentuan yang berlaku.”
Redaksi yang lebih baik:
“Setiap pelaku usaha wajib melaksanakan kegiatan sesuai izin usaha dan menjaga kelestarian lingkungan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Kalimat kedua lebih operasional karena menegaskan kewajiban, ruang lingkup, dan dasar hukumnya.
Kesalahan struktur kalimat sering terjadi karena penyusun terlalu fokus pada substansi kebijakan tanpa memperhatikan keterbacaan hukum. Padahal, dalam legislative drafting, klaritas lebih penting daripada kompleksitas.
Teknik 2: Menggunakan Terminologi Hukum Secara Konsisten
Konsistensi istilah hukum sangat penting untuk menghindari tumpang tindih makna. Dalam banyak kasus, istilah seperti “izin”, “persetujuan”, “rekomendasi”, atau “penetapan” digunakan secara bergantian, padahal masing-masing memiliki implikasi hukum berbeda.
Prinsip dasarnya adalah: satu istilah, satu makna.
Perancang Perda perlu memastikan bahwa:
- Istilah yang digunakan telah diatur dalam undang-undang di atasnya (sinkronisasi vertikal).
- Istilah baru harus didefinisikan secara eksplisit dalam ketentuan umum Perda.
- Hindari istilah populer yang tidak memiliki makna hukum pasti, seperti “layak”, “sepatutnya”, atau “sebaiknya”.
Contoh kesalahan umum:
Dalam Pasal 2 disebut “izin usaha”, tetapi di Pasal 5 disebut “persetujuan usaha.”
Akibatnya, pejabat pelaksana bisa salah menerjemahkan prosedur administratif.
Menurut BPHN (2022), salah satu penyebab utama disharmoni regulasi antar daerah adalah ketidakkonsistenan terminologi hukum antarperaturan. Karena itu, perancang wajib mengacu pada Kamus Hukum Nasional dan Pedoman Umum Bahasa Hukum Indonesia (Pusat Bahasa & Kemenkumham, 2019).
Teknik 3: Menjaga Konsistensi Penomoran dan Sistematika Pasal
Teknik redaksional tidak hanya mencakup kalimat, tetapi juga sistematika dan penomoran. Banyak Perda gagal dalam uji administrasi hanya karena kesalahan sederhana dalam struktur pasal dan ayat.
Sistematika yang baik mengikuti pola hirarkis berikut:
- Bab →
- Bagian →
- Paragraf →
- Pasal →
- Ayat →
- Huruf atau angka.
Perubahan satu struktur tanpa penyesuaian bagian lain bisa menimbulkan inkonsistensi internal.
Contoh kesalahan:
“Pasal 12 ayat (3) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5)”
Padahal, Pasal 10 ayat (5) sudah dihapus pada revisi sebelumnya.
Untuk mencegah hal ini, setiap tim perancang perlu membuat daftar kontrol sistematika (structural checklist) sebelum finalisasi.
Selain itu, dalam lampiran atau penjelasan, penggunaan penomoran ganda (misalnya angka Romawi dan Arab) sebaiknya dihindari kecuali untuk penanda hierarki yang jelas.
Menurut Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 20 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan Produk Hukum Daerah, konsistensi penomoran menjadi indikator utama keterbacaan peraturan.
Teknik 4: Membangun Logika Hukum yang Terpadu
Logika hukum dalam peraturan adalah keterkaitan antar norma yang menjamin tidak terjadi kontradiksi internal. Peraturan yang baik harus menjawab tiga pertanyaan logis:
- Apa yang diatur?
- Siapa yang diatur?
- Bagaimana penerapannya?
Kesalahan logika hukum sering muncul saat penyusun memasukkan norma kebijakan tanpa memperhatikan hubungan sebab-akibat. Misalnya, pasal yang memuat sanksi tanpa ada pasal sebelumnya yang menetapkan larangan atau kewajiban tertentu.
Contoh:
Pasal 8: Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dikenai sanksi administratif.
Namun, Pasal 7 tidak mengatur larangan apa pun.
Kelemahan ini membuat pasal sanksi tidak dapat diterapkan secara hukum.
Perancang harus memahami struktur logika normatif:
- Norma dasar → Norma pelaksana → Norma sanksi.
Keterpaduan logika ini memastikan setiap norma memiliki dasar dan konsekuensi hukum yang jelas.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto (2010) dalam kajian teori perundang-undangan, logika hukum yang terputus akan menghasilkan “peraturan lumpuh”, yaitu norma yang sah secara formal tetapi tidak dapat dijalankan.
Teknik 5: Menyusun Format Lampiran Secara Akurat
Lampiran sering dianggap pelengkap, padahal dalam banyak Perda, lampiran merupakan bagian tak terpisahkan dari norma hukum.
Kesalahan dalam format atau isi lampiran dapat mengubah substansi hukum secara keseluruhan. Misalnya, dalam Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), peta zonasi yang salah skala atau tidak sesuai koordinat hukum dapat menyebabkan sengketa antarwilayah.
Oleh karena itu, perancang harus memastikan:
- Lampiran diberi judul dan nomor identifikasi yang sesuai dengan pasal rujukannya.
- Dokumen pendukung seperti peta, tabel, atau matriks kebijakan disusun dengan format standar (A4, Times New Roman 12, margin 4-3-3-3).
- Jika lampiran bersifat teknis, penyusunannya harus melibatkan instansi terkait.
Sebagaimana ditegaskan dalam Permendagri No. 120 Tahun 2018, lampiran merupakan bagian utuh dari produk hukum daerah dan memiliki kekuatan hukum sama dengan batang tubuh Perda.
Contoh Kesalahan Umum Redaksional
Berikut beberapa kesalahan yang sering ditemukan dalam proses perancangan Perda:
- Penggunaan istilah umum tanpa definisi hukum seperti “layak”, “memadai”, atau “patut”.
- Kalimat pasif yang membingungkan “dapat dilakukan oleh yang bersangkutan” lebih baik diubah menjadi “pejabat berwenang dapat melakukan”.
- Penomoran ganda dan urutan tidak logis misalnya, ayat (2) mengatur hal yang seharusnya menjadi pengecualian ayat (1).
- Redaksi sanksi yang tidak tegas “dapat dikenai sanksi” seharusnya “dikenai sanksi”.
- Lampiran tidak sesuai batang tubuh isi tabel atau data di lampiran tidak memiliki referensi pasal yang jelas.
Kesalahan-kesalahan ini tampak sepele, tetapi berpotensi membatalkan efektivitas norma hukum.
Rekomendasi Standar Bahasa Hukum Nasional
Untuk menjaga kualitas redaksional, perancang Perda sebaiknya berpedoman pada beberapa standar nasional, antara lain:
- Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (beserta perubahan UU No. 13 Tahun 2022).
- Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 20 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan Produk Hukum Daerah.
- Pedoman Umum Bahasa Hukum Indonesia (Pusat Bahasa & Kemenkumham, 2019).
- Kamus Istilah Hukum (BPHN, edisi terbaru).
- Buku Legislative Drafting oleh Maria Farida Indrati (UI Press, 2010) yang menekankan pentingnya keterpaduan logika dan kejelasan bahasa.
Dengan mengikuti pedoman tersebut, setiap penyusun dapat meningkatkan kualitas redaksi sekaligus memastikan keselarasan dengan hierarki hukum nasional.
Penyusunan Peraturan Daerah bukan hanya proses administratif, tetapi juga proses intelektual yang menuntut ketelitian redaksional. Lima teknik di atas struktur kalimat yang logis, konsistensi istilah hukum, sistematika penomoran, logika hukum yang terpadu, dan format lampiran yang akurat menjadi kunci agar Perda tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga berfungsi efektif dalam kehidupan masyarakat.
Redaksi hukum yang baik mencerminkan profesionalisme perancang dan kualitas tata kelola pemerintahan daerah. Karena itu, penting bagi ASN, tenaga perancang, dan staf legislatif untuk terus memperbarui keterampilan drafting-nya melalui pelatihan intensif dan workshop harmonisasi hukum daerah.
Kuasai teknik penyusunan naskah akademik, harmonisasi regulasi, hingga redaksi pasal yang efektif agar setiap Perda yang Anda hasilkan benar-benar berkualitas dan implementatif. Klik tautan ini untuk melihat jadwal terbaru dan penawaran spesial.
Referensi
- Kementerian Hukum dan HAM RI. (2021). Evaluasi Produk Hukum Daerah di Indonesia.
- Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). (2022). Pedoman Bahasa Hukum Nasional.
- Maria Farida Indrati. (2010). Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Penyusunan. UI Press.
- Permendagri No. 120 Tahun 2018 tentang Produk Hukum Daerah.
- Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.