Posted in

Kesalahan Fatal dalam Harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah

Langkah Korektif dan Pencegahan

Cara Mengenali dan Mencegah Kesalahan Harmonisasi dalam Penyusunan Raperda

Langkah Korektif dan Pencegahan

Harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) merupakan tahap krusial dalam proses pembentukan peraturan. Di tahap ini, isi dan substansi rancangan diuji agar tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tidak tumpang tindih dengan regulasi lain, serta selaras dengan kepentingan umum dan kebijakan nasional.

Namun, dalam praktiknya, banyak Raperda gagal di tahap harmonisasi karena penyusun belum memahami makna substantif dari harmonisasi itu sendiri. Akibatnya, sejumlah Perda yang telah disahkan justru dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Agung karena cacat formil dan substantif.

Harmonisasi bukan hanya soal tata bahasa hukum, tetapi juga tentang kesesuaian sistem hukum nasional secara menyeluruh. Dalam konteks otonomi daerah, harmonisasi berfungsi menjaga keseimbangan antara kemandirian daerah dan kesatuan hukum nasional. Tanpa harmonisasi yang benar, Perda berpotensi menjadi sumber konflik antarperaturan, menghambat investasi, bahkan menciptakan ketidakpastian hukum di tingkat lokal.

Menurut Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 20 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pembentukan Produk Hukum Daerah, harmonisasi harus dilakukan bersama Kementerian Hukum dan HAM sebelum Raperda diajukan ke DPRD. Prosedur ini bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk pengendalian mutu terhadap produk hukum daerah.

Sayangnya, dalam praktik lapangan, masih banyak Raperda disusun terburu-buru tanpa analisis harmonisasi yang memadai. Akibatnya, muncul berbagai kesalahan fatal yang berimplikasi besar terhadap validitas hukum Perda.

Kesalahan Umum dalam Harmonisasi

Berikut beberapa kesalahan yang paling sering terjadi dalam proses harmonisasi Raperda, baik dari sisi teknis, substansi, maupun koordinasi antarinstansi.

1. Kurangnya Pemahaman tentang Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Banyak penyusun Raperda belum sepenuhnya memahami hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Akibatnya, Raperda sering kali mengatur hal-hal yang sudah diatur di tingkat pusat, atau bahkan bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Misalnya, Perda tentang retribusi yang menambah jenis pungutan tanpa dasar undang-undang, padahal hal itu melanggar asas lex superior derogat legi inferiori (aturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah).

Kesalahan ini bukan hanya teknis, tetapi berdampak hukum serius karena dapat membatalkan seluruh substansi Perda.

2. Tidak Melibatkan Kementerian Hukum dan HAM dalam Proses Awal

Salah satu kesalahan paling fatal adalah tidak melibatkan Kemenkumham sejak awal penyusunan. Beberapa daerah baru mengajukan permohonan harmonisasi setelah Raperda hampir final, padahal idealnya Kemenkumham harus terlibat dari tahap awal perumusan naskah akademik.

Ketidakterlibatan ini menyebabkan banyak substansi tidak terharmonisasi secara sistemik, sehingga Raperda menjadi sulit diperbaiki di tahap akhir. Kondisi ini juga melanggar Permenkumham No. 23 Tahun 2018 tentang Tata Cara Harmonisasi Rancangan Produk Hukum Daerah.

3. Naskah Akademik Tidak Sinkron dengan Raperda

Naskah akademik sering disusun hanya untuk memenuhi syarat administratif, bukan sebagai landasan analisis yang mendalam. Padahal, naskah akademik berfungsi menjelaskan urgensi, filosofi, dan implikasi sosial ekonomi dari setiap ketentuan dalam Raperda.

Ketika naskah akademik tidak selaras dengan Raperda, harmonisasi menjadi sulit dilakukan. Misalnya, naskah akademik menyarankan pemberian insentif investasi, tetapi Raperda justru mengatur pembatasan usaha. Ketidaksinkronan ini sering membuat harmonisasi mandek karena tidak ada pijakan akademik yang kuat untuk menilai substansi.

4. Penggunaan Istilah dan Definisi yang Tidak Konsisten

Dalam peraturan, konsistensi istilah menjadi hal mendasar. Banyak Raperda menggunakan istilah yang berbeda untuk makna yang sama, atau sebaliknya, istilah sama dengan makna berbeda.

Sebagai contoh, istilah “izin usaha” dalam satu pasal bisa diganti menjadi “persetujuan usaha” di pasal lain tanpa penjelasan. Ketidakkonsistenan ini menimbulkan ambiguitas dan membuka peluang multi-tafsir di lapangan.

Dalam harmonisasi, penggunaan istilah harus mengacu pada glosarium atau definisi yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di tingkat nasional, agar tidak menimbulkan kekacauan interpretasi.

5. Tidak Memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)

Banyak Raperda yang dirancang tanpa mempertimbangkan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) seperti asas kepastian hukum, asas proporsionalitas, dan asas keadilan. Akibatnya, peraturan yang dihasilkan sering merugikan pihak tertentu atau menimbulkan ketidakseimbangan dalam implementasi.

Contohnya, Perda yang menetapkan denda administratif terlalu tinggi tanpa mempertimbangkan daya kemampuan masyarakat. Meskipun secara hukum mungkin sah, namun dari sisi asas keadilan, aturan tersebut cacat secara substansi.

6. Kurangnya Koordinasi antar-Perangkat Daerah

Harmonisasi seharusnya menjadi kerja kolektif antara Biro Hukum, OPD pengusul, DPRD, dan Kemenkumham. Dalam praktiknya, koordinasi sering terhambat oleh ego sektoral. Setiap instansi merasa paling memahami substansi, sementara aspek legal formal diabaikan.

Ketiadaan mekanisme koordinasi yang efektif menyebabkan revisi berulang dan perbedaan tafsir antarlembaga. Akibatnya, waktu penyusunan membengkak dan kualitas Raperda menurun.

7. Mengabaikan Kepentingan Publik dan Aspek HAM

Beberapa Raperda gagal di harmonisasi karena tidak sejalan dengan prinsip non-diskriminatif dan perlindungan hak asasi manusia. Misalnya, Raperda yang membatasi aktivitas kelompok tertentu dengan alasan moral atau budaya lokal, padahal substansinya bertentangan dengan konstitusi.
Aspek HAM kini menjadi bagian penting dalam harmonisasi karena berkaitan langsung dengan komitmen Indonesia terhadap instrumen hukum internasional.

Dampak terhadap Validitas Hukum Perda

Kesalahan harmonisasi bukan hanya persoalan administratif. Dampaknya bisa fatal terhadap validitas hukum Perda, baik dari segi keberlakuan maupun penerapannya di masyarakat.

1. Pembatalan oleh Kementerian Dalam Negeri

Sesuai Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Kemendagri berwenang membatalkan Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau kepentingan umum.

Data Kemendagri menunjukkan, sejak 2016 hingga kini, ratusan Perda telah dibatalkan karena cacat harmonisasi. Pembatalan ini menyebabkan daerah harus menanggung kerugian finansial dan reputasi, karena seluruh proses legislasi menjadi sia-sia.

2. Uji Materi ke Mahkamah Agung

Perda yang lolos verifikasi Kemendagri pun tidak otomatis aman. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA). Jika MA menyatakan Perda bertentangan dengan peraturan lebih tinggi, maka peraturan tersebut dinyatakan tidak sah.

Contoh kasus yang terkenal adalah pembatalan Perda tentang retribusi izin usaha pertambangan di beberapa daerah karena bertentangan dengan Undang-Undang Minerba. Ini menunjukkan bahwa harmonisasi bukan sekadar formalitas administratif, melainkan benteng utama agar Perda memiliki kekuatan hukum yang valid.

3. Ketidakpastian Hukum di Daerah

Perda yang tidak harmonis sering memunculkan ketidakpastian hukum di tingkat pelaksana. Pejabat daerah bingung dalam menerapkan aturan, pelaku usaha kehilangan kejelasan hukum, dan masyarakat menjadi korban kebijakan yang tumpang tindih.

Ketika peraturan daerah tidak dapat dijalankan karena cacat harmonisasi, maka tujuan awal pembentukan peraturan yaitu memberikan kepastian dan keteraturan sosial tidak tercapai.

4. Kerugian Ekonomi dan Hambatan Investasi

Banyak investor enggan menanamkan modal di daerah yang sering mengeluarkan Perda bermasalah. Harmonisasi yang lemah menciptakan iklim regulasi tidak stabil, meningkatkan risiko hukum bagi pelaku usaha.

Menurut Laporan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), salah satu hambatan investasi di daerah adalah tumpang tindih aturan antar-Perda. Ini menunjukkan bahwa harmonisasi memiliki peran strategis dalam menarik minat investor dan menciptakan kepastian berusaha.

Langkah Korektif dan Pencegahan

Untuk mencegah kesalahan fatal dalam harmonisasi Raperda, pemerintah daerah perlu mengambil langkah-langkah sistematis dan berkelanjutan.

1. Membangun Pemahaman Dasar tentang Hierarki dan Asas Hukum

Langkah pertama adalah memperkuat pemahaman aparatur daerah terhadap hierarki peraturan dan asas-asas hukum perundang-undangan. Pelatihan hukum dasar bagi penyusun Raperda harus menjadi agenda rutin, terutama terkait asas lex superior, lex specialis, dan lex posterior.
Pemahaman ini akan membantu penyusun memastikan setiap pasal Raperda tidak melanggar norma hukum di atasnya.

2. Melibatkan Kemenkumham Sejak Tahap Awal

Harmonisasi bukan sekadar tahap akhir sebelum pengesahan, melainkan proses yang harus berjalan paralel dengan perumusan substansi. Kemenkumham sebaiknya dilibatkan sejak penyusunan naskah akademik agar arah substansi Raperda tidak menyimpang dari prinsip hukum nasional.

3. Meningkatkan Kualitas Naskah Akademik

Naskah akademik harus disusun berdasarkan riset empiris dan analisis hukum yang kuat. Pemerintah daerah dapat menggandeng perguruan tinggi atau lembaga riset independen untuk memastikan setiap ketentuan dalam Raperda memiliki justifikasi yang logis dan berbasis data.
Naskah akademik yang kuat mempermudah proses harmonisasi dan memperkecil risiko penolakan.

4. Menerapkan Review Internal Sebelum Harmonisasi Resmi

Sebelum diajukan ke Kemenkumham, Raperda sebaiknya melalui review internal oleh tim hukum daerah. Review ini berfungsi sebagai tahap penyaringan awal untuk menemukan potensi konflik norma, ketidakkonsistenan istilah, atau pasal yang berpotensi bertentangan dengan regulasi nasional.

5. Mendorong Koordinasi dan Komunikasi Lintas Instansi

Pemerintah daerah perlu membentuk Forum Harmonisasi Daerah, yang terdiri dari Biro Hukum, perwakilan DPRD, dan OPD teknis. Forum ini dapat berfungsi sebagai ruang komunikasi rutin untuk membahas rancangan regulasi sejak dini, sehingga potensi benturan dapat diantisipasi lebih awal.

6. Menerapkan Prinsip Partisipasi Publik

Harmonisasi juga harus mempertimbangkan suara publik. Pelibatan masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha dalam uji publik Raperda akan membantu menemukan aspek yang mungkin belum teridentifikasi oleh tim penyusun. Partisipasi publik memperkuat legitimasi Raperda dan memastikan regulasi yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan daerah.

7. Pelatihan Teknis Harmonisasi bagi Aparatur Daerah

Langkah preventif paling strategis adalah penyelenggaraan pelatihan harmonisasi peraturan daerah. Pelatihan ini dapat mencakup:

  • Analisis kesesuaian norma antar-tingkatan hukum

  • Teknik penyusunan naskah akademik yang konsisten

  • Penggunaan teknik penyusunan pasal sesuai kaidah hukum positif

  • Simulasi harmonisasi lintas lembaga

Melalui pelatihan rutin, aparatur akan lebih siap menghadapi dinamika perubahan regulasi nasional dan mampu menyesuaikan setiap Raperda agar selaras secara sistemik.

Kesalahan dalam harmonisasi Raperda sering berawal dari hal sederhana: kurangnya pemahaman hukum, lemahnya koordinasi, dan minimnya pelatihan teknis. Akibatnya, banyak Perda dibatalkan atau tidak dapat diterapkan secara efektif.
Harmonisasi bukan sekadar tahapan administratif, melainkan proses intelektual dan kolaboratif untuk menjaga konsistensi sistem hukum nasional.

Setiap pemerintah daerah sebaiknya menjadikan harmonisasi sebagai tanggung jawab bersama antar-OPD, bukan hanya tugas biro hukum. Dengan melibatkan Kemenkumham, akademisi, serta masyarakat sejak awal, risiko kesalahan dapat ditekan secara signifikan.

Untuk meningkatkan kapasitas aparatur, pelatihan seperti “Workshop Harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah dan Analisis Konflik Norma” sangat direkomendasikan. Program semacam ini biasanya mencakup:

  • Pembekalan asas hukum dan teknik harmonisasi

  • Simulasi analisis kesesuaian antar-regulasi

  • Studi kasus pembatalan Perda oleh Kemendagri dan MA

  • Strategi mitigasi kesalahan penyusunan Raperda

Pelatihan ini dapat diselenggarakan oleh lembaga seperti BPSDM Hukum dan HAM, Kemenkumham RI, atau lembaga pelatihan hukum yang berpengalaman.

Dengan peningkatan kapasitas yang berkelanjutan, pemerintah daerah akan mampu menghasilkan Raperda yang terharmonisasi, kontekstual, dan berdaya guna mendorong kepastian hukum sekaligus memperkuat tata kelola pemerintahan yang baik.

Kuasai teknik penyusunan naskah akademik, harmonisasi regulasi, hingga redaksi pasal yang efektif agar setiap Perda yang Anda hasilkan benar-benar berkualitas dan implementatif. Klik tautan ini untuk melihat jadwal terbaru dan penawaran spesial.

Referensi

  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

  3. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 20 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pembentukan Produk Hukum Daerah.

  4. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 23 Tahun 2018 tentang Tata Cara Harmonisasi Rancangan Produk Hukum Daerah.

  5. Data Kemendagri: Pembatalan Perda 2016–2023, Direktorat Produk Hukum Daerah.

  6. Laporan BKPM 2022 tentang Hambatan Investasi Daerah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *